Tuesday, May 19, 2009

Garis dan Kedisiplinan

Tentunya, semua tahu kalau garis itu multifungsi. Dalam dunia geometri, garis bisa membentuk segala sesuatu, shaping many things, mulai dari kotak, persegi empat, jajaran genjang, lingkaran, dan lainnya. Akan tetapi, tulisan ini tidak hendak menjelaskan segala yang berkaitan dengan yang tersebut diatas, tetapi lebih bagaimana garis berhubungan dengan kedisiplinan.

Berbagai macam literatur dalam dunia Islam telah menjelaskan suatu garis yang sangat sakti sehingga seluruh pemeluknya berusaha berfikir keras untuk selamat nantinya. Garis itu sedemikian lurus seperti jembatan yang tak berujung. Sejatinya, itu adalah Sirotul Mustaqim. Kesaktian jembatan ini adalah mampu membuat manusia berfikir seribu kali untuk mempertimbangkan segalam macam tindakannya di dunia karena di akhirat kelak tidak semuanya mampu melewati jembatan ini. Bagi mereka yang mampu melewatinya, dengan berbagai cara, tentu nikmat surga ada didepan mata, tetapi bagi mereka yang tidak mampu melewati dan terjatuh maka adzab neraka menanti dengan tangan terbuka.

Lantas, apa hubungannya dengan disiplin? Garis semacam Sirotul Mustaqim ini menjadi pemicu psikologi manusia terutama pemeluk agama Islam untuk mencoba sekeras baja, mlakukan apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhannya dan selalu berusaha menghindari apapun yang dilarang oleh-Nya. Dorongan semacam ini memacu adrenalin untuk selalu mendisiplinkan diri. Tanpa pacuan semacam ini, sulit rasanya menjaga kepercayaan dan keyakinan diri sendiri akan keselamatan yang diperoleh nanti.

Sekarang mari kita menukik lebih dalam dan tidak terjebak pada pikiran tentang neraka dan surga. Garis dalam hubungannya dengan kedisiplinan selalu mudah dan berada disekitar kita. Sebut saja misalnya, garis-garis di jalan raya yang menandakan aturan main dalam berkendara. Garis seperti ini menjadi salah satu indikator sampai sejauh mana kedisiplinan para pengendara terlihat.

Setiap hari, selalu saja ketika lampu lalu lintas bergerak merah, pengendara selalu berhenti tidak dibelakang garis putih persis, tetapi justru melanggar dan bahkan menerabas aturan tersebut. Padahal, kedisiplinan dalam berkendara seperti ini tidak jauh berbeda dengan berdisiplin dalam agama sehingga nantinya mendapat ganjaran dalam rupa surga dan neraka. Tetapi mungkin, karena reward dan punishment tidak pernah muncul secara kongkrit dan fair, maka kemudian tidak pernah muncul kedisiplinan.

Berideologi juga serupa. Garis ideologi terkadang berusaha untuk dikaburkan sehingga batas itu menjadi absurd. Semakin tegas seseorang dalam menganut ideologi tertentu, dianggap sebagai pencilan atau bahkan anomali sosial. Semakin kabur ideologi seseorang dan cenderung pragmatis, justru menjadi kesepakatan sosial yang tidak tertulis dan di iyakan oleh masyarakat umum. Mereka yang beridealita dengan ideologinya dianggap kelompok feri-feri dan termarginalkan. Ironis memang, tapi semoga marjinalisasi seperti ini justru semakin memperkuat mereka.

Yang perlu dipikirkan lebih dalam adalah, jangan kemudian karena ideologi yang membabi buta, kemudian keinginan untuk menegasikan ideologi yang lain justru menimbulkan tindak kekerasan. Perang ideologi harusnya dibuktikan dengan turunan ideologi tersebut, dengan tindak tanduk dan pilihan hidup yang tentunya selalu menggunakan dasar-dasar humanitas yang universal.

Kondisi ini menjadikan garis tegas yang kita pilih juga merupakan mahkota kehidupan kita. Garis itulah yang membuktikan kedisiplinan kita. Oleh karena itu, garis adalah representasi dan gambaran kedisiplinan kita. Patuhi segala macam garis yang telah ditetapkan, tentunya secara linear juga kita menghormati orang lain dan menjadikan kehidupan ini semakin baik dengan tata nilai yang apik.

Diskriminasi Protektif dan Gelanggang Pilpres

Dalam Jurnal Poelitik terbitan Universitas Nasional Jakarta, terdapat suatu tulisan tentang pemberdayaan masyarakat yang sarat nuansa sosiologi politik. Tawaran yang penulis bangun adalah serupa dengan yang coba ditawarkan oleh penganut People Centered Development yang menekankan pembangunan harusnya bertumpu pada pembangunan manusia dahulu, baru bicara untuk memajukan sektor lain. Tawaran ini menegaskan kritik terhadap Economic Centered Development yang menekankan pada pembangunan infrastruktur ekonomi.

Yang menarik dari tulisan tersebut adalah tawaran finalnya untuk mendorong munculnya Protective Discrimantion (Diskriminasi Protektif) yang berangkat dari pengalaman kebijakan di India terhadap suatu kasta serta apa yang dilakukan oleh Malaysia yang memberikan proporsi eksklusif terhadap kaum pribumi guna mendorong pertumbuhan ekonominya.

Indonesia juga sepertinya pernah melakukan ini pada periode Soekarno, seperti adanya Ekonomi Benteng yang membuka ruang besar bagi pengusaha pribumi. Tetapi, dalam konteks pemberdayaan, ruang terbesar tidak diberikan kepada mereka yang sudah mapan dalam ruang ekonomi dan sosial, tetapi lebih diberikan kepada mereka yang masih terpinggirkan dan powerless. Inilah yang menjadi titik sentral diskriminasi protektif.

Kebijakan yang dihasilkan dari pemikiran diskriminasi seperti ini adalah kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap mereka yang tidak memiliki kekuatan, atau sebut saja masyarakat kecil (wong cilik) untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan negara melalui kebijakan konstruktif yang memisahkan mereka dari kelompok berpunya.

Contoh yang paling nyata adalah warga negara yang berprofesi sebagai pedagang kelontong atau warung kecil yang tersebar dan menjamur dimana-mana. Dengan kekuatan maupun power yang seadanya, menjadi riskan ketika mengharuskan mereka berkompetisi secara terbuka dengan para pemilik modal yang mencoba membuka swalayan atau usaha sejenis. Ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan protektif yang mengamankan daya usaha pedagang-pedagang kecil ini dengan misalnya, membuat aturan yang tidak membolehkan swalayan berada disekitar mereka.

Dalam konteks Pilpres sekarang kemudian cara berfikir seperti diuji baik oleh publik maupun counterpart. Sampai sejauh mana ketiga calon yang sudah mendeklarasikan diri berfikir dan mempunyai cara pandang untuk membuat kebijakan yang berpihak seperti ini.

Masyarakat kecil sejatinya tidak lagi diperdebatkan sebagai masyarakat yang incompetence, yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan orang lain. Perdebatan seharusnya masuk pada wilayah struktural, pada perdebatan apakah ruang keadilan sudah terbuka bagi mereka yang powerless. Kompetisi dalam dunia pasar bebas tidaklah fair apabila tidak dalam kerangka yang sama, sehingga harusnya ada pembeda antara mereka yang diatas dengan dibawah sambil memikirkan bagaimana terus meningkatkan taraf kehidupan yang dibawah tersebut sehingga bisa meningkat dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, perlunya para pemilih secara cerdas menakar kemampuan visi dan misi para capres nanti. Kenapa? Karena kita harus melihat bagaimana turunan dari visi misi mereka menjadi kebijakan nantinya. Adakah pandangan dan pemihakan mereka terhadap kelompok marjinal misalnya. Perdebatan bukan lagi dia sepertinya neoliberal atau sosialis atau kerakyatan atau bahkan islamis, tapi perdebatan harusnya lebih pada apakah kebijakan semacam diskriminasi protektif ini muncul dalam pikiran dan kerangka yang mereka bangun.

Friday, March 6, 2009

Susahnya Mencari Kata Aman dan Nyaman dalam Transportasi Umum

Hari itu, persis setelah Magrib. Keretapun bergerak landai dan sedikit-sedikit memacu terus kecepatan semenjak bergerak dari stasiun pertama. Suasana didalam kereta juga ramai tetapi tidak terlampau sesak sehingga tampak sebagian besar penumpang mencoba menikmati suasana didalam kereta. Salah satu penumpang sibuk membolak-balikkan koran, sementara penumpang lainnya sibuk juga mempercantik dirinya sebagai rutinitas harian yang tidak boleh tidak harus dilakukan. Terkadang rutinitas ini menjadi lebih "fardhu" dibanding totalitas bekerja. Sebagian penumpang lainnya, tanpa memperdulikan siapa disekitarnya, asyik dengan dirinya sendiri, dengan buku, handphone, mimpinya, dan lain sebagainya.

Satu stasiun telah dilewati. Ada penumpang yang masuk, ada pula yang keluar. begitu terus kemudian sepanjang perjalanan. Stasiun kedua, juga tidak ada aral apapun. Tapi, kemudian kondisi salah satu gerbong menjadi gaduh. Kaca pintu kereta pecah berantakan. Seluruh serpihannya terlempar tak tahu arah. Seorang penumpang, wanita pula, harus merelakan dengan sangat terpaksa dirinya terhujam oleh serpihan kaca tersebut.

Sontak, seluruh isi gerbong tersebut merasa kenyamanan yang baru saja mereka nikmati dua hingga tiga stasiun yang ekuivalen dengan sekitar lima belas menit menjadi kabur entah kemana. Hanya perasaan gugup, takut, khawatir, dan sebagainya yang kemudian mengghinggapi mereka. Melihat salah satu penumpang menjadi korban membuat satu-satunya harapan mereka dapat menikmati fasilitas negara ini menjadi buyar.

Cerita diatas, merupakan salah satu contoh bagaimana rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga dan menghormati seluruh fasilitas publik yang tersedia terlebih transportasi umum/publik. Entah karena alasan apa, oknum masyarakat disekitar bantaran rel kemudian tanpa berdosa menimpuki kereta yang melintas dengan benda apapun. Entah itu batu, kayu, dan lainnya. Tindakan ini berakibat pada tiga hal, yaitu (1) terusiknya kenyamanan yang sejak lama diidamkan oleh siapapun yang mencoba menikmati fasilitas umum seperti transportasi publik baik secara sadar dan sengaja maupun terpaksa. Keterpaksaan terkadang muncul karena opsi lain dalam mengunakan kendaraan kemudian terhambat dengan rutinitas yang menggelikan seperti macet yang semakin hari semakin panjang, dll. Mereka yang terpaksa kemudian beralih menggunakan transportasi ini dengan harapan adanya tawaran kenyamanan dari pengelola; (2) Rusaknya fasilitas yang dimiliki oleh negara. Kerusakan tipe ini mempunyai implikasi panjang, mulai dari perlunya maintenance, malfungsi, pembengkakan biaya over head, dan seterusnya; dan (3) menggambarkan bagaimana ruang komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah tidak memunculkan kesadaran kolektif maupun individual.

Kesadaran ini menjadi kunci strategis dalam suatu proses bermasyarakat dan bernegara. Ruang emansipasi tidak bisa dilakukan tanpa kesadaran. Kesadaran untuk memahami mana hak dan mana kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai bagian dari negara dan masyarakat. Tindakan semacam ini, yaitu pelemparan batu, merusak fasilitas telepon umum, menggambar disembarang tempat, dan lain sebagainya menunjukkan kondisi kesadaran yang rendah baik secara individual maupun kolektif.

Secara individual karena memang ia tidak mampu menahan keinginannya yang cenderung destruktif. Entah karena ketidakpuasan atau hanya kesengajaan. Yang jelas, tindakan tersebut telah melanggar hak orang lain. Kemudian secara kolektif juga tidak mampu karena ketika kita melihat orang lain merusak, tidak terbangun keinginan untuk mencoba mengkoreksi tindakan orang tersebut.

Perilaku seperti ini menjadi ganjalan terbesar bagi proses perubahan dan letak paling dasar darinya adalah bagaimana merubah mindset atau paradigma baik penyelenggara negara maupun masyarakat. Mendorong dan menggugah keduanya untuk dapat memahami dimana hak dan dimana kewajiban masing-masing. Tentu, kuncinya ada pada mekanisme pendidikan. Pendidikan seperti Ivan Illich bilang sebagai pendidikan yang membebaskan. Pendidikan semacam ini bukanlah sebatas formalitas pendidikan seperti lazimnya, tapi proses pendidikan holistik yang menggugah kesadaran terdalam dalam masyarakat sehingga manusia menjadi makhluk yang sangat humanis dan bukannya hewan maupun robot.

Pendidikan ini dilakukan tidak hanya di ruang kelas formal, tetapi juga dalam ruang sosial terkecil seperti keluarga. Anak mendapatkan pendidikan dari orangtuanya untuk selalu berperilaku arif dan menjaga segala hal yang menjadi milik bersama dan menggunakannya pada batas wajar. Ketika ruang sosial terkecil ini bekerja, tentu secara gradual perubahan itu akan terjadi. Perubahan yang menjadi titik tolak menuju masyarakat yang lebih beradab. Yang mengerti dimana haknya diperoleh dan dimana kewajibannya harus mereka tuntaskan.

Semoga, segala upaya perbaikan terus dilakukan.
Semoga, segala kesadaran selalu berusaha dimunculkan.
Semoga, juga kearifan menjadi dasar dalam memupuk jalan berperadaban.

Jakarta, 07 Maret 2009

Tuesday, February 24, 2009

Membedah Agribisnis: Suatu Pengantar Diskusi

Membedah Agribisnis: Suatu Pengantar Diskusi[1]

Oleh:

Husnul Khitam[2]

Membincang tentang Agribisnis tidak akan bisa dilepaskan dari konsepsi dasar tentang pertanian itu sendiri. Kata-kata culture yang melekat pada pertanian (agriculture) menandakan sesuatu hubungan yang sangat terkait dengan kebudayaan. Pertanian dalam arti luas menjadi sangat holistik karena menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, budaya, bahkan hingga ketahanan dan keamanan. Pertanian sendiri juga memiliki dimensi etika seperti (1) etika yang menyangkut ego (ethical egoism). Etika ini menekankan pada bagaimana seorang individu itu berkeinginan untuk memaksimalkan keinginan dan kecenderungan kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri.

(2) Etika kedua adalah pendekatan untuk memperoleh hak (rights approaches) seperti hak untuk memperoleh keuntungan, menggunakan pestisida dan lainnya. (3) Etika lain utilitarian (utilitarianism) yaitu pemanfaatan suatu produk atau output dari produk tersebut. Ujung dari utilitarianitas adalah kepuasan. (4) Etika selanjutnya adalah IGP (individual goal pursuit) atau pencapaian tujuan individual. Ini sangat terkait dengan etika sebelumnya, sehingga landasannya adalah bagaimana tujuan seseorang itu dapat dicapai dengan menggunakan sumberdaya yang ada. (5) Terakhir adalah etika pencapaian keadilan sosial. Dalam pertanian tentunya dimensi ini yang lebih banyak dikedepankan, yaitu bagaimana pencapaian ruang dan keuntungan individual dicapai dengan tidak mengabaikan keadilan sosial sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya[3].

Pertanian juga memiliki tujuan pentingnya[4] yaitu fungsi produksi yang menguntungkan (profitable production), keberlanjutan produksi (sustainable production), proses produksi yang ramah lingkungan (environmentally safe production), pemuasan dari kebutuhan manusia (satisfaction of human needs), dan terakhir terkait dengan kepentingan keadilan social (compatible with a just social order). Meskipun kelima tujuan ini masih diharuskan pengkajian yang lebih mendalam dan tidak terlepas dari perdebatan, tetapi tujuan ini sedikit banyaknya mampu merepresentasikan tujuan utama dalam proses pertanian.

Seperti yang dipaparkan diatas, pertanian merupakan suatu sistem yang holistik dimana seluruh komponen atau dimensi itu memiliki keterkaitan sangat erat dan saling mengisi satu sama lain. Sistem itu juga terbangun menjadi sangat kompleks dan menjadi sulit untuk mengabaikan salah satu atau beberapa dimensi didalamnya. Misalnya, dalam proses usaha tani, meskipun tujuan utamanya adalah pencapaian keuntungan tetapi dimensi sosial mengenai keterhubungan antar pelaku yang terkait (stakeholders) menjadi sangat penting. Keterhubungan ini tidak hanya didasari oleh dimensi ekonomi tetapi juga didasari oleh dimensi sosial bahkan dimensi religius, etnik dan sebagainya.

Lantas, bagaimana dengan agribisnis (agribusiness)? Penulis pribadi mengakui tidak mendalami apa yang dimaksud dengan agribisnis termasuk konsepsi dasar yang dimilikinya. Dalam suatu buku tentang konsepsi agribisnis, diperlihatkan bahwa agribisnis merupakan suatu evolusi proses berproduksi pertanian. Dalam kehidupan manusia, telah dijalani berbagai proses bertani, dari nomadic agriculture (sistem pertanian berpindah) hingga saat ini yang banyak didengungkan seperti agribisnis.

Agribisnis sejauh penulis pahami adalah suatu sistem usaha yang mencoba mengaitkan dari hulu hingga hilir atau dari off-farm, on-farm hingga pasca panen. Dalam perjalanannya, ada berbagai variasi usulan sistem seperti collective-farming system atau sistem lainnya. Tetapi yang perlu dipahami lebih lanjut adalah dimensi lain yang tidak nampak di permukaan. Landasan filosofis agribisnis lebih ditekankan pada sifat manusia seperti homo economicus dimana manusia merupakan makhluk yang memiliki perhatian besar pada ekonomi. Ekonomi sendiri secara kering dapat diartikan sebagai proses pemanfaatan dan pencapaian tujuan serta perolehan keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, prinsip lain dari agribisnis adalah efisiensi dan efektifitas.

Mungkin apa yang penulis paparkan masih terlampau sempit dan tidak mampu menjawab persoalan mendasar. Tetapi jikalau berangkat dari berbagai dimensi etik yang telah dijelaskan diatas, hampir semuanya bergerak pada aras pencapaian kebutuhan manusia. Meskipun demikian, ada dimensi lain seperti keadilan sosial yang selama ini masih menjadi persoalan mendasar. Naluri pencapaian keuntungan memang sudah mendarah daging dalam diri manusia, tetapi naluri dan sensitifitas sosial juga sebenarnya menempati posisi yang sama, hanya saja terkadang sering dikesampingkan atau malah dilupakan. Agribisnis sendiri memiliki potensi dasar meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi perlu dicermati, masyarakat mana yang diuntungkan? Benarkan petani yang merupakan mayoritas pelaku pertanian diuntungkan oleh kehadiran sistem ini?

Dalam proses aktivitas pertanian, petani tidak mengedepankan keuntungan belaka. Hubungan sosial terjalin dengan erat antara individu petani baik dalam lingkar keluarga maupun dalam komunitas. Bagaimana adat mengatur pengolahan lahan, proses waktu tanam, proses panen, mem-bera-kan dan lainnya sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial. Lantas bagaimana agribisnis menjawab persoalan ini? Hubungan produksi sistemik yang terbangun dalam sistem agribisnis lebih mengedepankan hubungan antara tuan dengan hamba. Pemilik modal membangun usaha, pekerja menjadi budak untuk menggemukkan keuntungan sehingga modal dapat dicapai. Hubungan ekonomi seperti ini melupakan keadilan sosial sehingga kehidupan individualistik kemudian menjadi identitas dan komunalitas dan kohesivitas sosial menjadi semakin rapuh.

Penulis sendiri dalam proses pergulatan pribadi masih mempertanyakan benarkan agribisnis dapat menjadi solusi optimal dalam memajukan pertanian di Indonesia? Dalam suatu diskusi, penulis pernah mengutarakan bahwa agribisnis belum dapat menjadi solusi optimal karena kondisi masyarakat indonesia yang masih disesaki oleh petani gurem menjadi persoalan mendasar. Keterbatasan lahan, akses dan sumberdaya baik modal maupun lainnya masih menjadi persoalan sehingga sulit menerapkan suatu sistem seperti agribisnis. Agribisnis sangat dimungkinkan bagi mereka yang memiliki modal atau akses yang baik, tetapi ruang itu tidak terbuka bagi petani.

Tetapi pertanyaannya kenapa petani masih bertani hingga hari ini? Padahal kondisi yang memprihatinkan terkadang mendera mereka, bahkan setiap waktu terus mengusik hidup mereka seperti kemiskinan dan kesengsaraan. Tetapi yang masih dapat mereka pertahankan adalah hubungan sosial antara petani baik dari level individu, keluarga maupun kelompok masyarakat. Dalam beberapa penelitian diungkapkan hubungan patron-client[5] yang menjaga petani tetap pada wilayah subsisten dan lain sebagainya. Lantas, menjadi sangat krusial ketika kondisi diatas kemudian harus berhadapan lagi dengan sistem agribisnis yang meminggirkan ruang sosial tersebut.

Pertanyaan mendasarnya adalah, dimana mahasiswa harus berdiri? Pilihan apapun yang akan diputuskan, tentunya kesadaran akan fenomena diatas harus menjadi perhatian yang lebih serius sehingga nantinya, apapun profesi yang akan dipilih, prinsip dasar keadilan sosial (social justice) tetap dipertahankan bahkan menjadi prinsip dasar hidupnya. Terakhir, saya ingin mengkutip statement Pramoedya Ananta Toer dalam Romannya Bumi Manusia… “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Semoga kita bisa berlaku, bertindak dan berfikir dalam haluan yang benar karena cermin suatu bangsa ada pada diri kaumnya yang terdidik.

Ciputat, 24 Februari 2009



[1] Makalah diskusi terbatas, BEMJ Agribisnis Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa 24 Februari 2009.

[2] Mahasiswa S2 Sosiologi Pedesaan IPB. Alumni Agribisnis UIN, Angkatan 2000

[3] Keseluruhan penjelasan etika ini dapat dibaca lebih dalam pada pendahuluan dalam buku Ethics and Agriculture; An Anthology on Current Issues in World Context. Buku ini diedit oleh Charles V Blatz. Idaho, Moscow: University of Idaho Press.

[4] Tujuan ini merupakan ekstraksi yang penulis sajikan dalam artikel yang ditulis oleh William Aiken yang berjudul “The Goals of Agriculture”. Artikel ini merupakan salah satu bagian dalam buku yang telah disebutkan diatas.

[5] Pengertian ini bisa dibaca lebih jelas pada buku Moral Ekonomi Petani karya James C Scott

Monday, February 11, 2008

Eco-Pesantren

Secara umum, istilah ekologi mungkin sudah mulai banyak dikenal oleh khalayak umum. Meskipun demikian, banyak yang juga mensejajarkan istilah ekologi ini dengan lingkungan hidup. Sepengetahuan saya, ekologi tidak hanya sekedar lingkungan hidup tetapi ekologi lebih dari itu. Ekologi melihat bagaimana keseimbangan ekosistem itu terjadi. Ekosistem sedianya sudah seimbang sejak dulu kala, bahkan sebelum ego manusia muncul dengan upaya melakukan manipulasi terhadap lingkungan itu sendiri.

Nah, pesantren yang selama ini banyak dikenal masyarakat sebagai salah satu model pendidikan Islam yang berada dalam satu teritori dengan pucuk pimpinan tertinggi pada Kyai. Santri, Ustadz dan Kyai menjadi komponen pengisi kehidupan pesantren secara umum banyak ditemui. Lantas apa itu eco-pesantren? Bagaimana kata-kata eco (ecology) bisa disandingkan dengan kata pesantren di belakangnya? Apakah itu bukan bentuk dari budaya latah yang selama ini banyak menghinggap masyarakat kita?

Saya sendiri melihat bahwa eco-pesantren merupakan kata yang sangat tepat yang menggambarkan bagaimana pesantren berperan dalam banyak hal. Sebut saja penghargaan yang diperoleh Pondok Pesantren Pabelan, Pondok Pesantren An Nuqayah Guluk-Guluk, dan Pesantren Cipasung yang pada dasawarsa 80-an yang mendapatkan Kalpataru sebagai apresiasi pemerintah atas peran mereka dalam melakukan penghijauan dan mempertahankan kelangsungan lingkungan hidup.

Pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari nilai dan tradisi keislaman. Begitu mulianya tradisi ini sehingga menjadi panduan hidup yang dijalani oleh seluruh komponen didalam pesantren. Sebut saja, beberapa Pesantren di Jakarta meskipun didalamnya tumbuh bangunan yang menjulang, tetapi keasrian dan kearifan lingkungan tetap terjaga. Pola kehidupan yang terbangun didalamnya juga dirasa sangat menghargai alam.

Disaat sekolah konvensional banyak mengajarkan bagaimana muridnya menghargai lingkungan, pesantren melalui kata sakti sang Kyai sudah mengajarkan bahwa kebersihan dan penghargaan lingkungan menjadi salah satu bagian dari keimanan. Ini berarti bahwa bagi siapapun yang tidak menghargai lingkungan bahkan sampai merusaknya menandakan lemahnya keimanan mereka. Sebaliknya, semakin terjaganya ekosistem menggambarkan kuatnya iman mereka, minimal dengan upaya ini kesadaran bahwa lingkungan dan manusia menjadi satu kesatuan.

Proses belajar yang banyak dilakukan pesantrenpun tidak pernah terlepas dari alam. sejak dahulu, santri sudah dibiasakan menerima proses belajar mengajar dengan kondisi yang tidak pernah lepas dari alam bebas. Sebagian kecil saja proses belajar terjadi di dalam kelas sedangkan sisanya banyak mendorong interaksi dengan alam. Banyak juga pesantren yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi keseharian mereka, padahal disisi lain banyak masyarakat berlomba mengkoleksi kendaraan yang menggunakan bahan bakar.

Maka, pantaslah eco-pesantren menjadi padanan kata dari apa yang selama ini mereka lakukan. Tetapi, penulis beranggapan bahwa sejatinya sebelum istilah itu muncul, pesantren sudah melakukan gerakan-gerakan ekologi yang jauh sebelum aktivis mendengungkan isu ini. Ekologi sudah sebegitu melekat dalam keseharian kehidupan pesantren sehingga gerakan yang terjadi mampu mempengaruhi masyarakat sekitarnya.

Sudah saatnya kita melihat lebih mendalam budaya kita sendiri, budaya dan tradisi yang selama ini kita anggap pinggiran dan tidak pernah dilirik sekalipun. Selama ini kita silau dengan budaya kebarat-baratan yang ternyata berpotensi dalam merusak lingkungan. Kalau mau jujur, sesungguhnya model seperti ini lebih maju dua atau tiga langkah dari upaya MNC dalam menjaga lingkungan sebagai dalih partisipasinya setelah mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam dan lingkungan.

Monday, November 26, 2007

Logika Hidupku

Hidup ternyata memang penuh teka-teki. Sulit sekali untuk mencerna apa yang terjadi dalam hidup, baik itu masa lalu, masa kini, apalagi masa mendatang. Saat kondisi sedang kurasa sangat baik, tiba-tiba muncul cobaan. Satu persatu orang yang sayang dan dekat harus secepat itu dipanggil yang Kuasa.
Karena yang kuasa itu yang berkehendak, lantas ga ada lagi yang bisa kutolak. Bahkan untuk diriku sendiri, ku tidak bisa menolak. Sekedar berkelit sedikitpun tidak bisa.
Dasar, karena yang Kuasa juga yang berkehendak, sulit juga mengiyakan apa yang terjadi di depan mata. Merasionalisasikannya, bukan hanya mengiyakan dengan akal sehat. Terkadang analogi bahwa makhluk seperti manusia hanya hamba yang seperti miniatur catur yang dengan seenaknya menghacurkan pertahanan pion serta menumbangkan sang raja membuat aku muak. Muak dengan hidup yang penuh dengan logika terbalik yang tidak cepat aku mengerti.
Lantas sampai pada posisi kebimbanganku bahwa cobaan dalam hidup itu, apakah iya memang sebagai proses penguatan kapasitasku sebagai hambanya atau justru bentuk kebencian dan hukumannya atas apa yang aku perbuat selama ini...
Atau memang harusku meniadakan tuhan dalam kepala dan hatiku supaya aku lebih tenang dan menerima proses hidup ini murni sebagai proses dialektika hidup atau justru menanamkan lebih dalam lagi bahwa tuhan itu kuasa tunggal yang tidak terbantahkan sehingga hidup dan mati sekalipun menjadi wujud eksistensinya.
Entahlah..

Wednesday, November 14, 2007

God, what should I do?

I can't focus on anything...
I can't think anything...
I can't feel happy, while she's not here anymore
I can't fulfill my life with colours